Translate

Sebuah Kisah di Balik Gerimis Senja

Sore itu, aku janjian dengannya. Kami bertemu di suatu tempat terbuka.
Hijaunya dedaunan membuat pandangan mata lebih fresh. Kendaraan yang lalu-lalang sangat ramai. Bagi mereka yang lebih menyukai kesunyian, mereka akan sangat membenci mendengar suara knalpot yang bising.
Tapi, bagiku suara-suara itu bagaikan alunan musik yang indah. Tentu saja karena aku fokus pada "dia" yang sedang kutunggu. Ada bahagia yang sulit diungkapkan karena tahu bahwa sebentar lagi aku bertemu dengannya.



Aku sadar bahwa beberapa pasang mata sedang memperhatikanku. Entah apa yang salah dengan penampilanku?
Sesekali ku ambil cermin kecil dari dalam tas lalu melihat wajahku. Apa yang salah darinya? Apa mungkin kerudungku berantakan? Atau mungkin bedakku ketebalan?
Aku tidak mau "dia" melihatku berantakan saat itu.

Ternyata semua baik-baik saja.
Baik kerudung maupun bedak tidak ada yang berantakan.

Baca Juga: Merpati Tak Pernah Ingkar Janji

Mungkin mereka bukan memandangku. Mungkin mereka memandang pengunjung lain yang duduk di salah satu meja tepat di belakangku.

Mungkin aku hanya gugup saja.

Aku kembali fokus pada "dia" yang kutunggu.

Aku melihat-lihat dari segala arah, mengira-ngira mungkin saja dia akan muncul dari salah satu arah itu.

Tak lama kemudian, kulihat seseorang dari arah depan berjalan menghampiriku sambil tersenyum. Matanya tak lepas memandangku.
Aku sempat bingung dan sedikit salah tingkah sambil membalas senyumnya. Karena bingung dipandang seperti itu aku tidak sadar bahwa orang itu adalah "dia" yang sedang kutunggu sejak tadi. Aku baru sadar saat dia menyapaku.

Baca Juga: Surat untuk Rain Part 1

"Sudah lama, Reina?"
"Tidak." Jawabku sambil tersenyum malu-malu. Bahkan meski seharian menunggunya tidak akan terasa lama bagiku. Yang penting dia datang.

Dia terus memandangku. Mungkin karena dia baru melihatku berpenampilan seperti ini. Terlalu berlebihan jika aku berkata bahwa dia takjub dengan penampilanku yang baru.
Aku jadi salah tingkah karenanya.

Kami mulai bercerita ini itu. Banyak hal yang kami bahas seakan kami sudah lama tidak bertemu. Padahal kami baru bertemu sekitar seminggu yang lalu.

Terlalu asyik bercerita hingga kami lupa waktu. Ternyata langit barat mulai berwarna jingga keemasan. Senja telah tiba.

Aku harus segera pulang.
Keluargaku menunggu di rumah.
Dia menawarkan diri untuk mengantarku.

"Biar saya antar."
"Tidak usah. Saya naik angkot saja. Dekat kok."
"Saya antar saja ya. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Liat nih mulai rintik."
"Bener gak papa nih."
"Iya. Yuk naik."

Dengan tersenyum kunaik motornya.
Sepanjang jalan aku terus tersenyum di balik punggungnya
Kami lewat jalan kompas yang lebih dekat dengan rumahku. Beberapa saat kemudian, rintik hujan yang tadi turun satu persatu kini mulai turun lebih banyak dan berubah menjadi gerimis.

Motor terus melaju melawan angin yang hadir bersama gerimis senja itu.
Gerimis yang banyak tak menghalangi kami untuk terus bercerita dan bercanda sepanjang jalan.
Tawa kami beradu di antara deru motor dan suara angin.
Kami mulai basah. Orang-orang mulai berteduh. Tapi kami malah terus melaju menikmati gerimis.

Aku suka hujan. Aku suka senja. Dan aku suka berada di balik punggungnya seperti ini karena aku bisa terus memandangnya sambil tersenyum tanpa perlu ia tahu.

14 Januari 2017


1 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung.
Mohon tinggalkan komentar setelah membaca ya teman-teman.
Harap nama jelas. No Anynomous, please ^,^

Sebuah kisah akan lebih indah jika dituang ke dalam tulisan

My Fav Ice Cream

Chocolate Ice Cream Tepat 4 tahun yang lalu...8 Saat itu, saya benar-benar merasa gelisah. Bingung harus ke mana. Saya berjalan tanpa...

Aku dan Kisahku